Rabu, 30 Januari 2008

SUHU POLITIK TAHUN 2008 MEMANAS CAPRES & CAWAPRES MULAI BERGERILYA

OLEH MIFTAH H. YUSUFPATI
Walaupun agenda demokrasi tingkat nasional yakni pergelaran pemilihan presiden dan wakil presiden 2009 masih terbilang lama, akan tetapi suhu politik dikalangan elit sudah mulai memanas. Tampak dari berbagai tokoh nasional, baik itu wajah lama maupun wajah baru di pentas politik nasional sudah mulai gerilya ke daerah-daerah yang diperkirakan kantong suaranya.

Sejumlah survey dan polling memang menempatkan SBY sebagai juara untuk kembali duduk sebagai RI-1 2009. Hanya saja, sisa kepemimpinan SBY-JK yang tinggal dua tahun ini akan menjadi ujian besar. Akankah ia mampu bertahan dari gempuran kiri kanan lawan-lawan politiknya?
Tak usah kaget bila dalam waktu dekat-dekat ini sampai 2009 Megawati Sukar¬noputri akan rajin keliling dari desa ke desa, sembari agak kenes mengkritisi kinerja SBY-JK. Tak usah gerah juga kalau pada 2008 ini suara-suara miring akan sering terdengar dari gedung Parlemen.
Mulai dari peramal nomor wahid, politisi ulung, pengamat politik, pelawak dan artis sekalipun, ramai meramalkan eskalasi suhu politik di tahun 2008. Sejumlah tokoh, terutama politisi, hadir di tengah kita dengan dandanan lebih gres dan ramah.
Tak hanya Mega. Nama-nama lain seperti Akbar Tanjung, Wiranto, sampai pendatang baru seperti Sutiyoso, Din Syamsuddin dan lainnya akan lebih sering tampil dengan tebar pesonanya.
Jadi, memang tak hanya perubahan iklim global yang kian memanas yang dikhawa¬tirkan oleh masyarakat Indonesia, pada 2008 suhu politik juga cukup mendidih.
Situasi tersebut akan diperpanas oleh berbagai evaluasi terhadap kinerja peme¬rintah, calon presiden dan calon wakil presiden. Waktu yang semakin pendek diperkirakan semakin mempersulit peme¬rintah untuk menyelesaikan target-targetnya.
Perkiraan bahwa baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Wakil Presiden Jusuf Kalla akan terjun berkompetisi dalam pemilihan umum 2009 sudah barang tentu membuat kritikan tajam terhadap program dan berbagai kebijakan yang mereka keluar¬kan akan semakin 'memanaskan' suhu politik 2008.
Terhadap kemungkinan kompetisi antara SBY dan JK pada Pilpres mendatang memang cukup menguras energi. Kemungkinan itu bisa saja terjadi sebab JK adalah pimpinan partai besar, bahkan terbesar, sedangkan SBY hanyalah tokoh partai kelas menengah.
Hanya saja, jika memperhatikan sejumlah survey dan polling yang dilakukan lembaga independen JK bisa saja berubah pikiran dan tetap mempertahankan duetnya dengan SBY. Sebab sampai detik ini, SBY masih diingin¬kan untuk memimpin Indonesia ke depan.
Survey juga jelas menyebut pasangan SBY-JK masih dipavoritkan bila dibanding dengan jika SBY berpasangan dengan calon lainnya.
Artinya, Jusuf Kalla masih tetap menjadi pilihan paling populer untuk jabatan Wakil Presiden. JK masih menduduki peringkat pertama dengan 21,7 persen. Disusul Sri Sultan Hamengkubuwono dengan 14,7 persen dan Wiranto 6,8 persen.
Jika JK mempertahankan posisinya seka¬rang, maka tampaknya, posisi pertarungan calon presiden pada 2009 belum bergeser dari 2004 lalu. Final adalah SBY-JK lawan Mega¬wati Sukarnoputri dengan pasangannya.
Hanya saja, bila JK memaksakan diri, dan Partai Golkar mengusungnya, maka JK akan sangat menggantungkan nasib dari mesin politik partai selain berharap dukungan dari daerah kelahirannya. Masih ada waktu bagi JK untuk menggalang dukungan melalui safari politiknya dengan kendaraan jabatan wapres-nya.
Lalu bagaimana dengan calon lainnya? Hasil survey Pusat Studi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, mengajukan 10 nama calon alternatif. Lima di antaranya adalah Guber¬nur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubwono X dengan 17,1 persen suara, Ketua MPR Hidayat Nurwahid 11,7 persen, dan Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir 8,7 persen. Yusril Ihza Mahendra juga muncul dengan 8,6 persen suara dan Anas Urbaningrum yang memperoleh 3,9 persen suara.
Munculnya nama-nama baru sebagai calon presiden alternatif pada Pemilihan Umum 2009 tak lepas dari ketidakpuasan responden terhadap pemerintahan Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla di beberapa bidang seperti ekonomi. Sebanyak 70 persen dari 3.500 responden di 33 provinsi menilai Indonesia memerlukan pemimpin baru.
***
Lepas dari itu, tampaknya, SBY akan berhadapan kembali dengan Megawati sebagaimana 2004 lalu. Dan di atas kertas, SBY masih sangat diunggulkan.
Kekuatan SBY terletak dalam keunggulan strategis yang ada dalam genggamannya. Kekuatan pertama dan utama SBY pada keberhasilan mendudukkan orang-orangnya dalam posisi kunci militer, mulai dari Kepala Staf Umum TNI, Panglima TNI, Panglima Kostrad, KSAD, dan sebagian besar Pangdam.
Kedua, kekuatan SBY berada pada blok politik yang dulu menjegal Megawati dalam sidang MPR 1999 hingga kini masih kuat, bahkan makin terkonsolidasi, ditambah lagi SBY bakal berpeluang meraup suara dari kaum muda terdidik dari semua golongan.
Walaupun upaya SBY tenang dalam menghadapi Pilpres mendatang, akan tetapi kharismanya terus mempesona sampai kepada masyarakat bawah yang berada di daerah-daerah.
Megawati tampaknya menyadari hal itu. Ia pun kian rajin bersafari politik ke kantong-kantong suaranya, dimana Mega mengambil simpatik rakyatnya dengan melakukan dialog secara langsung ke konstituennya.
Mega hingga kini masih diidolakan pendukung terutama di Indonesia Bagian Timur ditambah lagi rakyat kecil di perkotaan. Dukungan birokrasi lebih banyak kepada Mega di bagian timur, pasalnya banyak pemimpin birokrat timur yang duduk keba¬nyakan dari PDIP.
Bagaimana dengan peluang calon lain¬nya? Ada yang menyebut, Wiranto, Jusuf Kalla dan Akbar Tanjung juga berpeluang merebut kursi nomor satu.
Wiranto yang tengah mempersiapkan dirinya untuk maju melalui Partai Hanura, bagaimana pun tidak dapat dipandang sepele saja oleh partai-partai besar pemenang pemilu lalu.
Hanya saja, survey Pusat Studi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia partai lama menjadi pendulang suara paling besar. Partai Golkar mendapat dukungan terbesar dengan 17, 5 persen suara. Disusul PDIP dengan 16,2 persen dan ketiga Partai Demokrat 7,1 persen.
Tapi versi Laksnu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan lebih ungguh ketim¬bang Partai Golkar. Berdasarkan hasil polling PDIP mengungguli Golkar dengan jumlah pemilih 19,7 persen.
Keunggulan PDIP bukan disebabkan bertambahnya jumlah pendukung melainkan citra Golkar yang makin elitis telah menjauh¬kan partai beringin ini dari para konsti¬tuennya. Maka dari itu perolehan pendukung Golkar 22 persen pada tahun 2003 menurun menjadi 17,4 persen.
Trend yang berbeda terjadi pada Partai Demokrat. Partai yang terbilang baru ini menduduki peringkat ketiga dengan jumlah pendukung 15,7 persen. Warna nasionalis partai mendudukkannya sebagai acuan atau pilihan terkuat dibanding partai lain yang berbasis agama.
Partai Hanura bisa mementahkan hasil survey ini bila dalam waktu yang tersisa ini mampu meyakinkan pemelih bahwa partai ini benar-benar menjadi hati nurani rakyat.
Kesan yang ada kini Partai Hanura masih sebatas sebagai partai alternatif bagi 'pelompat pagar' saja.

Sebagai bekas calon presiden 2004 yang cukup kuat, Wiranto masih bisa membangun kembali basis-basis kekuatan tim sukses lama untuk menggerakkan roda politiknya mere¬but RI 1. Pertarungan kemarin sebagai promosi kepada publik, walaupun hingga sekarang sepak terjangnya dalam bergerilya masih dapat dihitung dengan jari, kecuali dengan menggunakan fasilitas roda politik di Partai Hanura.
Survey yang dilakukan kini belumlah bisa dijadikan ukuran 100%, sebab masih banyak waktu bagi peminat kursi RI-1 untuk membangun dukungan. Munculnya nama-nama seperti Menko Kesra Aburizal Bakrie, mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dan lainnya, masih sangat mungkin memutar balikkan angka-angka polling dan survey itu.
Banyak cara untuk itu. Antara lain, ya tadi, ikut memanaskan dunia perpolitikan Indonesia. Karena ini juga bagian dari ujian bagi kepemimpinan SBY.
Itu sebabnya beberapa pengamat politik memberikan tips pada SBY-JK agar tidak perlu panik terhadap situasi politik di tahun 2008.
Pemerintah dapat berjalan terus untuk menggarap program-program yang telah direncanakan. Apabila pemerintah ber¬jalan dengan baik dan program-program terlaksana dengan baik pula, maka suara-suara miring terhadap pemerintah pun tidak akan didengar oleh masyarakat.
Kalau mau jujur, menurut sejumlah pengamat, masalah terbesar yang kemungkinan besar akan timbul pada tahun 2008 adalah degradasi perilaku politik dari the ruling elite. Degradasi tersebut terjadi karena tidak adanya kepemimpinan.
Degradasi ini meluaskan apatisme yang terlihat dari peningkatan jumlah golput di pemilihan gubernur DKI, sebagai contoh. Rakyat memiliki caranya sendiri untuk melawan dan menunjukkan rasa ketidak¬percayaan mereka terhadap kepemimpinan yang ada.
Degradasi inilah yang menyebabkan politik menjadi kering, hampa ideologi, dan membuat politik tidak mengasyikkan. Maka tidak heran apabila dikatakan bahwa jumlah golput Pemilu-Pilpres tahun 2009 mendatang akan lebih besar dari angka maksimal sekitar 23% pada tahun 2004 lalu.
Apatisme sendiri menyebabkan deligiti¬masi jajaran eksekutif, legislatif, dan yudi¬katif. Eksekutifnya lebih pasif, legislatifnya tetap non-aktif, dan yudikatifnya masih saja belum berfungsi sebagaimana mestinya. Deligitimasi juga biasanya diikuti oleh political decay. Namun demikian, deligitimasi ini tak menyadarkan para elit ini agar bertobat.
Jadi? Inilah kesempatan SBY kerja keras untuk memperoleh apresiasi masyarakat. Biarkan kritik diarahkan ke Istana, SBY dipredilksi tetap perkasa bila mampu bertahan dengan tetap bekerja untuk rakyat.


RATING SBY MASIH DIATAS CAPRES LAIN

Dari banyak calon yang ingin menjadi Presiden RI dalam Pemilu 2009 nanti, SBY dan Megawati Soekarnoputri tetap menduduki dua posisi teratas.

Sejumlah survey dan polling yang dilakukan lembaga independen menunjukkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih diinginkan untuk memimpin Indonesia ke depan. Megawati Sukarnoputri berada di urutan kedua.
Polling yang dilakukan Lembaga Kajian dan Survey Nusantara (Laksnu), menyebut, Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri menjadi pesaing terberat Presiden SBY dalam Pemilihan Presiden 2009.
Survei terbaru yang digelar Lembaga Riset Indonesia (LSI) belum lama ini menunjukkan hal yang sama. Begitu juga hasil survei yang dilakukan Indo Barometer di 33 provinsi di Tanah Air dengan melibatkan 1.200 responden, belum lama berselang. SBY berada di posisi teratas.
Laksnu menyebut dari 1.000 responden, 32,2 persen peserta memilih SBY untuk tetap menjadi presiden pada periode berikutnya. Tokoh berikutnya adalah Megawati dengan jumlah pemilih 29,1 persen. Sedangkan Gus Dur, Wiranto, dan Jusuf Kalla menduduki peringkat ketiga, keempat, dan kelima dengan jumlah pemilih yang relatif kecil.
Tak jauh berbeda, versi LSI, setelah SBY, disusul Megawati, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Wiranto. Nama-nama lain seperti Jusuf Kalla, Abdurrahman Wahid, Din Syamsudin, dan Akbar Tanjung juga masih mendapatkan tempat kendati dengan perolehan angka satu digit.
Berdasarkan survey Indo Barometer pula, SBY dinilai masih cocok berduet dengan Kalla. Dari hasil survei ini juga terindikasi bahwa bukan partai yang menjadi dasar pilihan rakyat melainkan sosok orang yang bersangkutan.
Hasil polling Laksnu lain lagi, Menurut Andy Agung Prihatna, peneliti Laksnu, SBY memang tetap harus memperhitungkan Partai Golkar sebagai kandidat pendamping. Laksnu memasangkan SBY dengan Akbar Tanjung sebagai calon alternatif dari Golkar. Sedangkan Megawati disandingkan dengan Din Syamsudin. Hasilnya, pasangan SBY-Akbar unggul di atas pasangan Megawati-Din dengan selisih jumlah pemilih hanya 1,9 persen.
Tetapi Jusuf Kalla masih tetap menjadi pilihan paling populer untuk jabatan Wakil Presiden. Kalla masih menduduki peringkat pertama dengan 21,7 persen. Disusul Sri Sultan Hamengkubuwono dengan 14,7 persen dan Wiranto 6,8 persen.
Jadi, tampaknya, posisi pertarungan calon presiden pada 2009 belum bergeser dari 2004 lalu. Apabila survey tersebut menjadi salah satu barometer Pemilu ke depan maka semakin berat bagi elemen masyarakat non-partai politik untuk mengusung tokoh muda sebagai alternatif dalam Pilpres mendatang. Sebab, dalam politik popularitas menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan.
Tampaknya SBY sampai kini belum tergeser. Survey Indo Barometer dengan jumlah responden 1.200 orang dengan margin of error +/- 3%. Penelitian dilakukan di semua provinsi di Indonesia.
Hal yang perlu diwaspadai adalah bahwa masih cukup besar yang tidak menginginkan SBY kembali memimpin yakni 33,4%. Bila ditambah dengan angka yang memilih tidak tahu/tidak menjawab (17,1%), maka jumlahnya menjadi 50,5%. Artinya masih tinggi dibanding dengan yang menghendaki kembalinya SBY ke Istana.
Angka menginginkan kembali yang sedikit di bawah 50% ini merupakan "lampu kuning" untuk SBY. Jika publik menemukan figur alternatif seperti munculnya SBY pada tahun 2004, maka SBY bisa kalah.
Namun tampaknya figur capres alternatif - -apalagi nama dan wajah baru-- itu belum muncul. Tokoh-tokoh muda yang diajukan masih dipandang sebelah mata oleh responden.
Kesan yang muncul selama survey, SBY dipilih paling banyak karena dianggap mampu memecahkan semua masalah, jujur, tegas dalam mengambil keputusan, berwibawa sebagai pemimpin, bijaksana, dan pintar. Sedangkan Megawati dipilih karena perhatian/dekat dengan rakyat, mampu memecahkan masalah ekonomi, dan taat beragama.

Tidak ada komentar: