Rabu, 30 Januari 2008

KASUS PAK HARTO DAN PERTARUHAN SBY

OLEH Miftah H. Yusufpati


Sejumlah pihak mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memaafkan mantan Presiden Soeharto sampai kepada upaya mencari terobosan hukum yang adil dan arif bagi Pak Harto dan masyarakat. Hanya saja, sampai detik ini sikap SBY tak juga jelas. Boleh jadi ia menganggap langkah apa pun yang ditempuh SBY sebagai pertaruhan politik pada 2009.

Pak Harto adalah orang besar yang masih dimiliki bangsa ini. Wajar saja, jika mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew menyatakan bersedih karena sampai menjelang akhir hidupnya, Pak Harto tidak menerima penghargaan dan kemuliaan yang sepatutnya selaku pemimpin di masa lalu. "Saya sedih melihat sahabat lama yang dengannya saya pernah bekerja erat lebih dari 30 tahun, tidak sepenuhnya menerima itu," kata Lee kepada media Singapura setelah mengunjungi Pak Harto, yang terbaring kritis di RS Pertamina, Jakarta.
Tatkala banyak orang di dalam dan di luar negeri menyoroti Pak Harto dari aspek korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelanggaran hak asasi manusia, Lee mengenang jasa mantan koleganya dari sudut pembangunan.
Lee seperti dipublikasikan Channel News Asia, menyatakan pula, "Ia mendidik rakyat. Ia membangun berbagai jalan dan infrastruktur."
Hal tersebut berbeda dengan Jenderal Newin yang mengambil alih kekuasaan di Burma (Myanmar) di era 1960-an dan tenggang waktu kekuasaannya dengan Soeharto hampir sama.
Jenderal Newin memilih jalan sendiri--sosialisme Burma--sedangkan Jenderal Soeharto, menurut Lee, mempunya tim ekonom sehingga membawa negerinya pada pertumbuhan dan kemajuan. "Sangat sedikit orang seusia dia dan seumur saya yang masih ingat masa silam. Jika mereka bisa mengingat masa lalu, akan mengetahui bahwa pada tahun 1960-an, Indonesia berada dalam masa ekonomi yang sangat sulit, hyper-inflasi seperti Zimbabwe sekarang."
Dewasa ini, menurut Lee, perekonomian Indonesia lebih baik, dan itu kepemim¬pinan Soeharto.
Soeharto, demikian Lee, menstabilkan hubungan internasional, bekerjasama dengan negara-negara anggota ASEAN dan membuat ASEAN lebih sukses ketimbang SARC (sekarang SAARC, Perhimpunan Asia Selatan untuk Kerjasama Kawasan) setelah ekses konfrontasi dan kebijakan luar negeri Soekarno. "Sekarang, kita memiliki Asia Tenggara yang stabil," katanya.
Lee berpendapat, rakyat Indonesia beruntung.
Mereka, katanya, mempunyai jenderal yang berkuasa, dengan tim penyelenggara (administrator pemerintahan) yang kom¬peten, termasuk tim ekonom yang sangat baik untuk membangun negeri.
Begitulah tokoh besar Singapura meman¬dang sesamanya, tokoh besar Indonesia. Tokoh besar selalu mengingat jasa-jasa pemimpin. Begitu juga bangsa yang besar selalu mengingat para pen¬dahulunya.
Sementara di dalam negeri, orang-orang atau kelompok tertentu dengan berbagai motif - termasuk 'balas dendam' atau sekadar mencari popularitas, biar disebut sebagai tokoh reformasi -- hari-harinya habis digunakan untuk memaki-maki Pak Harto. Begitu Pak Harto sakit sebagian di antara mereka masih tega mengungkit-ungkit kasus yang melibatkan mantan presiden tersebut.
Di sisi lain, pemerintah tampaknya lebih memilih memendam kasus-kasus tersebut di tengah pro dan kontra untuk melanjutkan atau menghentikan sama sekali.
Presiden SBY mengatakan saat ini bukannya waktu yang tepat untuk mem¬bahas perdamaian untuk menyelesaikan kasus perdata mantan Presiden Soeharto. Menurutnya, yang lebih utama adalah bagaimana semua pihak memusatkan perhatian pada upaya memberikan layanan medis yang terbaik untuk mengatasi kondisi kritis yang dialami mantan Presiden Soeharto.
Meski bisa saja pernyataan SBY itu memiliki makna politis untuk kepentingan popularitasnya menjelang pemilihan presiden 2009, namun sikap SBY tersebut cukup tepat dalam menghadapi kondisi kesehatan mantan Presiden Soeharto yang kritis saat ini. Apalagi sebagian masyarakat Indonesia dalam berbagai forum telah memberi maaf Pak Harto dan berharap kepada pihak pengadilan untuk meng¬hentikan proses hukum terhadap mantan orang nomor satu di Indonesia itu.
Mereka melakukan hal tersebut semata-mata karena alasan kemanusiaan, mengi¬ngat dengan kondisi kesehatan yang sangat kritis tidak mungkin mantan Presiden Soeharto dapat mengikuti proses hukum yang berbelit-belit di pengadilan.
"Saya pun tahu, saya tidak luput dari kesalahan. Maka seperti berkali-kali pernah saya katakan, di sini pun saya ulangi lagi, hendaknya orang lain mengikuti contoh-contoh baik yang telah saya berikan kepada nusa dan bangsa, dan menjauhi hal-hal yang buruk yang mungkin telah saya lakukan selama saya memikul tugas," kata Pak Harto suatu ketika.
Sejatinya, sejak Pak Harto sakit pada 5 Mei 2006, SBY sudah punya rencana untuk merehabilitasi nama baik Pak Harto, juga Bung Karno. Bahkan upaya rehabilitasi ini pernah dirumuskan. Namun selanjutnya perumusan rencana rehabilitasi itu terhenti sehingga tidak pernah selesai hingga kini.
Kini arus besar yang menghendaki kasus Pak Harto ditutup kian kuat se¬hingga menjadi momentum yang tepat bagi SBY untuk mengambil langkah-langkah penghormatan kepada tokoh bangsa ini.
Memang tidaklah salah jika dalam menyikapi pro-kontra berkaitan dengan tawaran damai atas kasus perdata Pak Harto, Presiden SBY memilih sikap untuk tidak membicarakannya saat sekarang.
Langkah SBY ini cukup bijak karena tentu tidaklah etis di saat kondisi ke¬sehatan Pak Harto kritis, malah pemerintah menyi¬apkan upaya damai tersebut. Selain itu, jika pemerintah memaksakan proses perda¬maian dengan keluarga Cendana terkait penyelesaian kasus perdata mantan Pre¬siden SBY, bisa jadi publik akan menuduh pemerintahan SBY tidak memiliki rasa perikemanusiaan.
Hanya saja, sikap SBY sejak awal yang penuh petimbangan ini diterjemahkan oleh sementara kalangan memang untuk menga¬mankan kedudukannya di tahun 2009.
Lebih daripada itu, ada yang berpen¬dapat bahwa keputusan SBY mengen¬dapkan masalah Pak Harto sebagai kepu¬tusan penuh risiko bila dibiarkan berlarut-larut.
SBY harusnya segera mengambil kepu¬tusan dari sisi politik. Kasus ini harus segera diselesaikan, selagi yang bersangkutan masih hidup.
Selain itu, hukuman politik harus dicabut (Tap MPR yang menyebut nama Soeharto), karena secara ketatanegaraan, itu salah total.
Kewenangan pemerintah atas berbagai kasus dan diri Pak Harto, sesuai koridor hukum yang ada maka kewenangan Pre¬siden Susilo Bambang Yudhoyono sesung¬guhnya lebih pada memberikan rehabilitasi.
Sudah cukup rasanya bagi kita menja¬dikan kasus Pak Harto sebagai komoditas politik. Sementara kasus-kasus yang melibatkan konglomerat hitam lolos begitu saja.
Jadi, bagaimana pun penyelesaian kasus Pak Harto mesti memenuhi keadilan rakyat, tapi juga harus menempatkan para pemimpin bangsa di tempat terhormat. Sehingga penegakan hukum dan keadilan sekaligus akan menampakkan tingkat peradaban kita sebagai bangsa.

Tidak ada komentar: